Bab 117 Novel Romantis Pengantin Pengganti
Blog novel romantis kali ini akan memperkenalkan novel Kisah Pengantin Pengganti. Novel ini bergenre romantis dan sedang trend saat ini. Novel ini telah dibaca oleh 3 Jutaan penikmat novel di Indonesia.
Oh iya, Blog novel romantis merupakan blog yang berisi novel novel romantis yang sedang trend saat ini. Kamu akan membaca
novel sepuasnya di sini, dan tentunya gratis atau tidak perlu pakai koin
seperti penyedia penyedia novel yang lainnya.
Novel ini terkenal dengan
alur ceritanya yang mampu mengobrak abrik emosi
pembaca, Saya yakin kamu akan suka novel ini seperti saya. Ok, Silahkan baca
Novel Romantis Pengantin Pengganti sekarang.
Novel Romantis Pengantin Pengganti Bab 117
Ruang tamu kediaman Isvara menjadi
berantakan karena pertengkaran sepasang suami istri itu. Para pelayan tidak
berani melerai, mereka hanya terdiam di sudut.
Yenny maju ke arah Fauzan, aku akan
menghubungi Professor Lexa. Yenny teringat ketika Fauzan memberikan
jurnal-jurnal medis yang ditulis oleh Stephanie, ibunya Khansa. Professor Lexa
langsung datang mencarinya, dan ingin membeli jurnal itu dengan harga berapa
pun. Merasa jika jurnal itu begitu penting dan pada saat itu Yenny enggan
melepasnya. Dirinya lebih memilih menggunakannya sendiri, dan benar saja ilmu
medisnya berkembang dengan pesat karrna jurnal-jurnal yang ditulis oleh
Stephanie.
"Ayah, saat ini aku merasa lelah. Aku
akan ke atas untuk beristirahat," ujar Yenny.
Maharani menarik tangan Yenny,
"Nak" tapi, Yenny malah mengehempaskan tangan Maharani.
"Aku lelah!" jawab ketusnya.
Jika keluarga Isvara tidak bisa tidur
dengan nyenyak, maka sebaliknya dengan Khansa dan Leon. Dalam pelukan Khansa,
kualitas tidur Leon semakin membaik.
Selain memberikan obat berupa pil ajaib
racikan Khansa, dalam beberapa hari ini juga Khansa memberika terapi akupuntur
jarum emas.
Jarum yang teksturnya lebih lembut dari
jarum perak, tidak semua orang memiliki kemampuan seperti ini. Tapi, ini adalah
bakat alami Khansa.
Menjelang dini hari ponsel Khansa
berdering. Khansa mengangkat perlahan tangan Leon yang sedang melingkar di
pinggul rampingnya itu.
Khansa sedikit bergeser dan menjawab
telepon dari pihak rumah sakit, "Baik aku akan segera ke Sana."
Bibi Fida telah sadar, Khansa mencium
kening Leon, "Aku akan segera kembali," ujar Khansa.
Taksi yang Khansa pesan pun datang,
"Ke Rumah Sakit!" ujar Khansa kepada supir taksi.
Sesampainya di rumah sakit, Khansa
mempercepat langkahnya di koridor rumah sakit. Khansa membuka pintu kamar rawat
inap Bibi Fida, Khansa melihat Bibi Fida tengah duduk bersandar di ranjangnya.
"Bibi ..." panggil Khansa dengan
menangis.
"Bibi ..." Khansa langsung
berhambur memeluk bibi Fida.
"Nona kecilku," panggil bibi
Fida.
"iya Bi ... ini aku," jawab
Khansa.
"Nona kecil, apa kau ke sini
sendirian? Kau harus bersembunyi!" ujar bibi Fida. "Bibi ... ada
apa?" tanya Khansa bingung. "Orang-orang itu pasti akan mengejarmu
sekarang. Nona kecil kau harus bersembunyi!" pinta Bibi Fida.
"Siapa? Bersembunyi dari siapa?"
tanya heran Khansa.
Bibi Fida malah menangis sejadi-jadinya,
dokter datang dan menyuntikan obat penenang kepada bibi Fida. Khansa hanya bisa
meliht bibi Fida dalam limbung.
"Nona, harap jangan terburu-buru, dia
baru saja tersadar," ujar dokter mengingatkan.
"Ah ya baik dokter, maafkan aku,"
ujar Khansa.
Khansa melihat jam di ponselnya, sudah
hampir jam lima pagi. Berpikir jika Leon akan bangun, maka Khansa pun segera
pulang dulu.
Dalam perjalanan pulang Khansa melihat
seorang nenek sedang berjalan terhuyung, Khansa meminta supir taksi untuk
berhenti. Khansa menghampiri nenek tersebut, "Nek .. apa kau sakit?"
Khansa melihat nenek itu mengeluarkan darah
dari hidungnya, lalu Khansa segera mengeluarkan jarum emasnya dan mulai menusuk
di bagian atas kepalanya.
Lambat laun darah dari hidung nenek itu pun
terhenti. Nenek itu sedikit tersadar,
"Terima kasih."
"Nek di mana rumahmu? Aku akan
mengantarmu,'' ujar Khansa.
"Baik ... antarkan Nenek ke
rumah," ujar nenek itu.
Khansa memapah nenek itu ke dalam taksi.
Sementara itu di kamar utama,
Leon meraba-raba sisi ranjangnya. Dirinya
langsung saja terbangun karena tidak merasakan ada tubuh Khansa.
"Kemana perginya?" ujar Leon
panik.
Leon mengambil ponselnya, lalu mulai
melihat GPS ponsel Khansa yang sudah dia sinkronisasikan dengan ponselnya.
Tanpa berganti pakaian Leon langsung saja menyambar kunci mobilnya dan pergi
melaju ke arah Khansa.
Taksi telah sampai di rumah nenek yang baru
saja Khansa kenal itu. Dengan hati-hati Khansa memapah nenek itu untuk masuk ke
dalam.
"Nenek siapa namamu?" tanya sopan
Khansa.
"Kau bisa memanggilku Nenek
Quin," jawabnya.
"Dan kau siapa namamu?" balik
tanya nenek Quin.
"Nenek bisa memanggilku Khansa,"
jawabnya.
Baru saja masuk ke dalam, Khansa lansung
saja disambut oleh hardik marah seorang pria tinggi tegap, 'Hei! Kau siapa?
Mengapa bisa bersama Nenekku?" tanya pria itu sembari menopang tubuh nenek
Quin dari pegangan Khansa. Nenek Quin langsung menendang kaki cucunya itu,
"Yang sopan!" bentak nenek Quin.
"Khansa, jangan pedulikan bocah tengil
ini," ujar nenek Quin.
Nenek Quin menepuk-nepuk sisi sofa di
sebelahnya, "Duduklah di sini,” ujar nenek Quin.
“Terima kasih nenek, aku harus segera
pulang," jawab Khansa.
"Hei! Bocah tengil, antarkan malaikat
penolongku pulang," perintah nenek Quin.
"Ayo!" ajak Dafa, cucu nenek
Quin.
Khansa pun berjalan mengikuti Dafa,
"Jika bukan karena nenek, malas aku mengantarmu. Hah! Yang benar saja
memakai cadar? Apa kau wanita buruk rupa."
Mendengarnya ingin sekali Khansa
menancapkan jarum emasnya dan membuat pria yang bernama Dafa ini tak bergerak.
Baru saja sampai di halaman depan, mobil
mewah Leon perlahan terpakir di halaman rumah nenek Quin. Leon melihat Khansa,
gadis itu berdiri di pantulan sinar matahari pagi, penampilannya semakin
menakjubkan. Leon terdiam sesaat, melihat Dafa dan Khansa berdiri saling
bertatapan di bawah sinar cahaya kuning. Mereka berdua masih sangat muda, dari
kejauhan terlihat seperti lukisan pasir yang sangat indah.
Leon keluar dari mobilnya, dan menghampiri
Khansa. Tatapan Leon menjadi sedingin es, Leon menyelipkan satu tangan masuk ke
dalam saku celananya, "Nyonya Sebastian."
Suara Leon langsung terdengar jelas di
telinga Khansa, "Mengapa dia ada di sini?" Pikirnya.
Leon mengulurkan lengannya yang kuat, dan
menarik tubuh Khansa ke sisinya lalu berbisik, "Sedang apa pagi-pagi sudah
ada di sini? Siapa dia?" tanya Leon menunjuk kepada Dafa dengan matanya.
"Ah ini ... dia ..." Khansa
sedikit bingung menjelaskannya.
"Itu ... kami baru saja kenal hari
ini, tadi aku mengantarkan nenek Quin yang sakit pulang ke rumahnya,"
jawab Khansa singkat.
Pinggang Khansa terasa sakit ketika Leon
meremasnya, mata Leon terlihat agak memerah. Khansa tahu jika saat ini Leon
sedang marah.
Dafa berdiri sambil memandangi keduanya,
tadi dia melihat Leon meremas pinggul Khansa, Khansa melihat perubahan ekpresi
pada kedua pria itu.
“Ini suamiku ... kau tak perlu
mengantarku," ujar Khansa.
Mata Leon semakin memerah, mendengar jika
ada pria lain yang akan mengantar Khansa.
"Ayo kita pulang!" ajak Khansa
kepada Leon.
Setelah itu Leon merangkul Khansa
membawanya masuk ke mobil, Khansa menoleh ke belakang, merasa tak enak hati
karena Leon baru saja menebar aura peperangan kepada Dafa.
Leon mencengkram bagian belakang Khansa,
dan membalikan wajah kecilnya. Kemudian masuk ke mobil dan Leon segera
melajukan mobilnya itu.
Leon melajukan mobilnya tanpa bicara
sepatah kata pun, Khansa tahu jika Leon saat ini sedang marah.
Khansa menoleh kepada Leon, lalu bertanya
"Apakah kau marah?"
Leon menjawab, "Kalau sudah tahu
mengapa bertanya?"
"Aku bisa menjelaskan tentang
ini," jawab Khansa.
Khansa pun menceritakan tentang bibi Fida
yang baru saja sadar, lalu dalam perjalanan pulang bertemu dengan nenek Quin,
dan Dafa adalah cucuk nenek Quin.
"Kalian akrab?" tanya Leon.
Oh ya Tuhan, kami baru saja bertemu hari
ini, bahkan aku baru tahu namanya baru saja, jelas Khansa.
"Tidak bohong?" tanya Leon.
Leon menekan setir mobilnya dengan tangan
besarnya, lalu berbelok dengan tajam. Seketika saja mobil yang Leon kendarai
melesat bagai anak panah.
Khansa merasa akan terlempar keluar,
"Jangan menyetir terlalu cepat, berbahaya!"
Leon tidak melambat sama sekali, tetapi
malah menekan pedal gasnya semakin dalam.
Khansa merasa mual dan pusing, "Jika
kau tidak mendengarkan aku, maka aku akan marah. Aku tidak tahu apa yang
membuatmu marah, kujelaskan sekali lagi, aku baru saja mengenal Dafa dan
neneknya."
Khansa duduk dengan tegak, menolehkan
wajahnya ke jendela lalu mengabaikan Leon.
Mobil mewah itu tiba-tiba menjadi sunyi,
ini adalah pertengkaran serius mereka yang pertama. Sementara, Leon merasa
bagaimana mungkin tidak marah jika melihat ada pria lain di sisi Khansa, meski
tidak ada hubungan apa-apa. Tapi, sungguh pemandangan tadi sangat menusuk mata
dan hati Leon. Dia tidak suka melihat Khansa bersama pria lain, sangat tidak
suka.
Leon tidak dapat mengendalikan dirinya,
Leon mengeluarkan keringat dingin, selama ini jika dalam keadaan tidak kambuh
maka dia bisa mengendalikan dirinya. Leon melambatkan laju mobilnya lalu
berhenti di pinggir jalan.
Khansa keluar dari mobil, lalu langsung
saja muntah-muntah. Leon juga ikut keluar dari mobil. Ingin menepuk-nepuk
punggung Khansa tapi urung, Leon hanya memberikan sebuah sapu tangan.
"Lain kali, walaupun sedang marah.
Jangan mengebut lagi ok! Aku tidak menyukainya," ucap Khansa.
"Aku tidak bermaksud mengebut, hanya
sedikit kehilangan kendali diri. Anggap saja tadi aku sedang kambuh,"
jawab sembarang Leon.
Penutup
Bab 117 Novel Romantis Pengantin Pengganti
Bab 117 selesai,
Bagaimana isinya? Saya yakin kamu menyukainya dan tak sabar untuk pindah ke Bab
berikutnya. Gass yah.
Oh iya, Ingat baca novel
hanyalah hobi, tetap utamakan pekerjaan utama dan ibadah. Sekarang mari kita
lanjut ke Bab 117 Novel Romantis
Pengantin Pengganti. Klik navigasi Bab di bawah untuk melanjutkan.